Rabu, 02 Februari 2022

P.T BASIMBAH TANI SYAHDILATA


 


PT.Basimbah Tani Syahdilata yang dulunya adalah CV.Basimbah Tani dirintis oleh Bapak H.Suyono sejak Oktober 2005 mendapatkan sertifikat merek dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan nomor pendaftaran IDM000240976.Serta telah terdaftar pula pada Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual pada 1 September 2008 dengan kelas barang / jasa :NCL901.Sejak saat itu hingga kini CV.Basimbah Tani melakukan kegiatan produksi dan pemasaran pupuk organik.

Pusat produksi pupuk Basimbah Tani berlokasi di Dusun Bandarejo ,Kel.Ujung Bandar, Kecamatan Rantau Selatan ,Kabupaten Labuhanbatu Provinsi Sumatera Utara.

Perusahaan telah melakukan uji efektifitas pupuk organik Basimbah Tani pada tanaman jagung di Sumatera Utara.Uji efektifitas dilakukan dari bulan Januari sampai dengan Mei 2010 yang berlokasi di lahan petani Desa Partibi Lama, Kecamatan Merek,Kabupaten Karo, Sumatera Utara di bawah naungan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara.Hasil pengujian menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik Basimbah Tani yang mengandung N,P,K dan hara mikro menunjukkan manfaat yang positif terhadap pertumbuhan tanaman jagung varietas P12 dan dapat menaikkan produksi sebesar 620 Kg/Ha.Hasil analisis ekonomi memperlihatkan bahwa pemakian pupuk organik Basimbah Tani sebanyak 450 Kg/Ha dapat menghasilkan penerimaan sebesar Rp.16.226.000 dengan keuntungan bersih petani sebesar Rp.8.118.780.

Visi

-        -   Menjadi salah satu perusahaan pupuk organic yang dikenal dalam skala nasional.

-         -  Mengembangkan system pertanian organic Indonesia.

 

Misi

-      Menghasilkan produk pupuk organic yang berkualitas dan berdaya saing yang mudah didapat oleh masyarakat

-          Mengembangkan usaha yang mendukung ketahanan pangan

-          Mendukung penyediaan pupuk organic nasional untuk tercapainya program swasembada pangan.

 

Tujuan

-          Mengembangkan dan meningkatkan ketersediaan bahan organic di dalam tanah.

-          Memperbaiki struktur tanah yang rusak.

-          Meningkatkan daya serap akar tanaman terhadap air dan unsur hara.

-          Memperbaiki populasi kehidupan mikroorganisme di dalam tanah dengan cara menyediakan makanan bagi mikroorganisme tersebut.

-          Memiliki residual effect positif.

-          Mengandung unsur hara makro dan mikro yang dibutuhkan tanaman.

Kepemilikan saham :

H.Suyono 100%

Kamis, 18 Juni 2020

AWAL MULA KETIDAK JELASAN INI

Apakah masih ada Penjelasan UUD 1945? Jika ya, mengapa tidak dicantumkan dalam publikasi resmi UUD 1945 hasil amandemen dalam satu naskah? Jika tidak, apakah semua Penjelasan itu tidak berlaku lagi? Apakah sebenarnya fungsi Penjelasan? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang coba dijawab Maria Farida Indrati dalam pidato purnabhakti sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada Kamis (26/9) lalu.
Berkarir sebagai dosen sejak 1976, Maria Farida telah mengabdikan dirinya sebagai akademisi selama 43 tahun. Termasuk ketika diangkat sebagai hakim konstitusi periode 2008-2013 dan 2013-2018. Secara formal, pengabdian perempuan kelahiran Solo14 Juni 1949 itu, di Universitas Indonesia, sudah berakhir meskipun semangatnya untuk mengabdi masih membara.
Dan, ketika menyampaikan pidato purnabhakti di hadapan civitas akademika Universitas Indonesia, Maria Farida menjelaskan status ‘Penjelasan’ UUD 1945. Masalah ini penting karena berdasarkan pengamatannya, ada beberapa penerbitan UUD 1945 yang memperlakukan berbeda bagian Penjelasan. Perbedaan perlakuan atas bagian ‘Penjelasan’ justru dapat membingungkan pendidik, peserta didik, dan praktisi hukum.
Uraian Maria Farida berangkat dari lima poin kesepakatan MPR dalam Perubahan UUD 1945. Pertama, tidak mengubah Pembukaan UUD 1945. Kedua, tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketiga, mempertegas sistem pemerintahan presidensil. Keempat, Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam Penjelasan dimasukkan ke dalam pasal-pasal. Kelima, perubahan dilakukan dengan cara adendum.
MPR meniadakan Penjelasan UUD 1945 bertujuan untuk menghindarkan kesulitan dalam menentukan status Penjelasan dari sisi sumber hukum dan tata urusan peraturan perundang-undangan. Selain itu, dari sisi historis, diperoleh fakta bahwa Penjelasan UUD 1945 bukan produk BPUPKI atau PPKI. Kedua lembaga ini hanya menghasilkan Pembukaan dan Batang Tubuh. Adapun Penjelasan UUD 1945  baru dicantumkan pada saat UUD 1945 diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia pada 15 Februari 1946.
Menurut Maria Farida, Penjelasan suatu peraturan perundang-undangan merupakan interpretasi resmi (otentik) dari pembentuk peraturan perundang-undangan yang dapat membantu untuk mengetahui maksud dan latar belakang pemikiran, maksud, dan tujuan perundang-undangan diadakan, serta untuk menjelaskankan segala sesuatu yang dipandang masih memerlukan penjelasan.
Dalam konteks UUD 1945, bagian Penjelasan tak bisa dilepaskan begitu saja. Penjelasan bukan pula bagian yang berdiri sendiri. Ditinjau dari ilmu perundang-undangan, Penjelasan merupakan satu kesatuan dengan Pembukaan dan Batang Tubuh. “Oleh karena itu, alasan kesepakatan MPR meniadakan Penjelasan UUD 1945 sebagai upaya untuk menghindarkan kesulitan dalam menentukan status Penjelasan dari sisi sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan adalah tidak tepat,” tegas Maria Farida dalam pidato purnabhaktinya.
Lebih lanjut Maria berpendapat menetapkan UUD 1945 dalam satu naskah tanpa mengikutsertakan Penjelasan Umum dan Penjelasan Pasal-Pasal telah menghilangkan hal-hal yang bersifat normatif yang tidak dirumuskan secara normatif ke dalam pasal-pasal. Bahkan ada prinsip dasar dalam Penjelasan UUD 1945 yang tidak dirumuskan dalam pasal-pasal Perubahan UUD 1945. Sekadar contoh adalah prinsip pengakuan hukum tak tertulis dalam Penjelasan Umum. Ini diakui dalam rumusan berikut: “Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang di sampingnya Undang-Undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis”. Contoh lain dari Penjelasan Pasal-Pasal adalah Penjelasan Pasal 18: “Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidstaat, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga.
Menghilangkan Penjelasan yang bersifat normatif semacam itu dapat berakibat fatal. Maria Farida memberi contoh relasi antara Penjelasan dengan Pembukaan UUD 1945. Salah satu hal terpenting dalam Penjelasan UUD 1945 adalah rumusan yang berhubungan dengan keberadaam dan eksistensi Pembukaan UUD 1945 yang tak lain adalah Pancasila. Rumusannya terdapat dalam Penjelasan Umum III yang menyatakan bahwa pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, serta rumusan UUD menciptakan pokok-pokok pikiran dalam pasal-pasalnya (staatfundamentalnorm). “Oleh karena itu kesepakatan untuk meniadakan Penjelasan UUD 1945 dengan memasukkan hal-hal yang normatif ke dalam pasal-pasal dapat berakibat hilangnya Pembukaan UUD 1945 (Pancasila), baik sebagai cita hukum maupun sebagai norma fundamental negara,” papar Maria Farida.
Lebih lanjut, ibu tiga anak itu berpendapat meniadakan Penjelasan UUD 1945 dalam ‘Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Satu Naskah’ sama saja meletakkan Pembukaan sekadar hiasan atau pemanis (accessory), dan tanpa makna. Jika kondisi ini dibiarkan, maka ada pengabaian terhadap Pancasila sebagai filosofi dan pedoman dasar dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bahkan mungkin saja pengingkaran terhadap Pancasila. Dalam konteks inilah, kata Prof. Maria, perlunya sosialisasi kembali Pancasila dan nilai-nilainya melalui pembentukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (Perpres No. 7 Tahun 2018).
Khusus mengenai Penjelasan Pasal-Pasal, Maria mengakui ada penjelasan yang tidak sesuai lagi dengan makna dan rumusan pasal-pasal hasil amandemen. Tetapi bagi pasal-pasal yang belum diubah, Penjelasannya masih berlaku dan sesuai makna dan rumusan dalam pasal-pasalnya. Contohnya, Pasal 4, Pasal 22, Pasal 33 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945.
Murid Prof. Maria yang juga mengampu mata kuliah Ilmu Perundang-Undangan, Fitriani A. Sjarif, menilai pidato sang guru sangat urgen saat ini. “Tidak banyak orang yang menyadari bahwa ada teori pembentukan perundang-undangan dan konsistensi hukum tata negara yang tidak dipenuhi dalam amandemen UUD 1945,” ujarnya.Fitri mengingatkan bahwa tidak ada rumusan pasal hasil amandemen UUD 1945 yang menjelaskan secara tegas nasib bagian Penjelasan yang ditiadakan. Menurut dia, kesepakatan mengenai status Penjelasan dari UUD 1945 sebelum amandemen harusnya dituangkan dalam rumusan pasal tersendiri dari UUD 1945 hasil amandemen.
Sependapat dengan gurunya, Fitri menilai puluhan tahun lamanya isi Penjelasan menjadi satu kesatuan dan bagian tak terpisahkan dalam memahami UUD 1945. Bahkan ada bagian Penjelasan yang muatannya juga bersifat normatif. Penjelasan UUD 1945 tidak bisa dianggap sekadar sejarah yang sudah berlalu terutama saat berurusan dengan upaya menafsirkan isi konstitusi. “Dalam penafsiran, Penjelasan itu melekat dengan pasal yang dibentuk, terutama ketika ada pasal yang dipertahankan dengan rumusan lama tapi sudah dihapus Penjelasannya,” kata Fitri.

Minggu, 14 Juni 2020

MAKAN ITU HAK


Melanjutkan tulisan dari ustad Rendi Syahputra kemarin lusa tentang privilege, sekaligus menjawab mengapa kami di Berkah Box membagi puluhan ribu nasi box gratis setiap pekan, selama enam hari berturut-turut.
Ada yang beberapa netizen yang salah memahami tulisan saya tentang privilege. Bahwa tulisan saya tentang perjuangan mendaki kelas ekonomi dianggap berhaluan faham materialisme.
"Udah lah kang, kesuksesan itu gak selalu tentang harta kok, emangnya kemuliaan hidup itu bisa dinilai dengan miskin atau kaya?"
Sepintas kalimat ini benar, namun ijinkan saya meluruskan.
Begini,...
Benar sekali bahwa kaya dan miskin bukanlah ukuran kemuliaan di pandangan Allah azza wa jalla. Insan yang mulia yang bertaqwa, ada yang bisa jadi miskin, bisa jadi kaya.
Pada tulisan tentang privilege tersebut, yang saya soroti lebih pada standard hidup layak. Kaya dan miskin itu alamiah saja, namun kecukupan hidup sebagai manusia adalah tanggung jawab ekosistem, tanggung jawab kolektif masyarakat, yang sebenarnya terwakilkan dalam institusi yang namanya negara.
Setidaknya ada lima titik kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi,
Akses untuk makan, punya sandang, akses pada hunian, mendapatkan layanan pendidikan dan kesehatan.
Kita gak bicara bahwa setiap orang harus punya mobil, tetapi setiap orang harus bisa makan.
Kita gak bicara setiap orang harus punya rumah ratusan meter persegi, namun kita bicara setiap manusia dalam sebuah ekosistem masyarakat... Harus punya tempat berteduh.
Kita gak bicara setiap manusia harus punya barang-barang mewah, gak, kita bicara tentang akses kesehatan dan pendidikan. Dimanapun level ekonomi saudara kita, mereka harus bisa akses pendidikan dan kesehatan.
Itulah amanah konstitusi. Diatur dalam undang-undang. Faqir miskin dan anak yatim dirawat oleh negara. Kekayaan alam negeri ini digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Inilah juga maqoshid syariah. Inilah juga tujuan dari syariah Islam. Bahwa manusia gak boleh ada yang hidup dibawah garis cukup. Maka ditariklah 2,5% harta yang masuk nishob disetiap tahunnya.
Beban tarikan paksa ini hanya untuk yang kaya, yang hartanya minimal 85 gr emas. Wajib keluarkan 2,5% zakat maal untuk yang hidup dibawah garis cukup. Kita menyebutnya 8 asnaf.
Itulah semangatnya. Itulah pondasi berfikirnya. Makan sebagai kebutuhan dasar sebenarnya bukan sesuatu yang "diperjuangkan mati-matian" didalam masyarakat muslim. Makan itu mudah. Karena dia HAK.
Gagasan pada tulisan kali ini adalah lebih pada membangun kesadaran sosial.
Masyarakat macam apa kita ini? Ada saudara kita yang sekedar makan aja gak bisa. Kucing lapar saja kita kasih makan. Binatang peliharaan saja kita rawat. Sedangkan tetangga kita lapar kita gak berbuat apa-apa?
Kualitas society seperti apakah kita ini? Kita bisa bayar makan di restoran dengan jutaan rupiah sekali bayar, setara dengan anggaran makan satu keluarga miskin satu bulan. Sekali duduk di restoran sekeluarga, itu sebulan anggaran makan keluarga miskin. Dan betapa banyaknya keluarga miskin yang gak bisa makan.
Kualitas layanan negara seperti apakah kita ini? Ketika yang hanya bisa mendapatkan akses pendidikan terbaik adalah yang kaya saja. Miskin ya stop gak bisa kuliah, harus sabar di lulusan SMA, akhirnya jadi kuli lagi, jadi pekerja kelas bawah lagi. Begitu seterusnya.
Manusia seperti apakah kita ini? Ketika ada saudara kita sebangsa yang harus menjalani tindakan medis, harus menunggu sabar, atau tidak ditindak karena tidak ada jaminan biaya.
Kemana itu hasil batu bara yang bikin bolong hutan-hutan kita? Kemana itu hasil kayu? Kemana itu hasil migas ratusan ribu barrel per hari yang puluhan tahun diproduksi?
Gak semua orang harus KAYA itu benar. Tapi semua orang harus hidup CUKUP, itu konsep berfikir yang dituntun Allah pada manusia.
Semua manusia harus bisa makan, harus bisa dapat pakaian, harus bisa punya tempat berteduh, harus bisa akses pendidikan dan harus bisa dapat layanan kesehatan.
*****
Maka mudah menjawab komentar ini,
"Kang, itu jangan dikasih nasi box terus kang, nanti manja, jadi gak mau kerja, jadi malas."
Jawaban pertama, kalo ada saudara kita yang lapar ya dikasih makan. Sangat tidak manusiawi kalo ada saudara kita lapar terus anda suruh kerja.
Kami bisa balik bertanya, pekerjaannya mana? Mereka harus melamar kemana? Siapa yang mau mempekerjakan saudara kita yang low skill? Pendidikan rendah? Siapa?
Jadi, gak ada itu orang malas. Kami setiap hari ngobrol dengan orang miskin. Mereka siap kerja apa aja kok, siap produktif, apa aja mau dikerjain. jadi stop lah ngomong orang miskin itu malas.
Jawaban kedua ada adalah... Apakah benar jika dikasih makan terus akan malas? Sejatinya manusia punya harga diri untuk terus bertumbuh. Setidaknya bantu makan dulu agar saudara dhuafa kita bisa berfikir. Punya tenaga.
Setelah makannya tercukupi, emosi semoga stabil, langkah hidup semoga positif, kohesi sosial diantara kita semoga juga terbangun.
Ini konsep yang diyakini Berkah Box, makan itu HAK. Ia bukan sesuatu yang dilepas kepada mekanisme pasar. Siapa yang gak bisa makan mati, siapa yang bisa makan akan hidup.
"Salah ente lah gak bisa makan, ente males, ente miskin, ente gak sekolah, ente gak punya etos kerja, kalo kelaparan ya kelaparan aja, bukan urusan ane."
Apakah layak seorang manusia berkata demikian?
*****
Bismillah sahabat. Kami di Berkah Box jika mau dikritik sampe ratusan ribu komen, kami gak berhenti ngasih makan sesama. Titik.
Mau dikomenin kayak apapun juga, kami tetap akan bagi nasi box gratis. InsyaAllah, manusia yang punya nurani masih sangat banyak di negeri ini, insyaAllah donatur akan terus nambah.
Terima kasih dialektika diskusinya di FB. Sudah saya tulis semua ya. Sudah saya jawab. Semoga ada pencerahan.
URS - Berkah Box
Donasi WA • 0811 • 216 • 8676 •

Senin, 04 Mei 2020

SALAH SENDIRI KENAPA MALAS?

Saya bukan plagiat, saya hanya ingin tulisan ini dapat tersebar luas agar dapat menyadarkan saya khususnya dan ummat manusia pada umumnya.Tidak ada keuntungan komersil yang saya ingin raih dari retype  tulisan ustad Rendi Saputra ini. Oke cekidot!!!

Kembali saya maju mundur mau nulis ini. Jam 00.17 WITA. Akhirnya saya mulai menulis. Semoga keheningan malam ini membawa pencerahan.

Saya berhati-hati sekali. Bener-bener hati-hati. Tidak ada satupun status saya sebelum ini tentang Staffsus Presiden yang kontroversial. Yang satu dari fintech, yang nyuratin semua camat. Yang kedua kerjasama platform pelatihan sama pemerintah. 5,6T.

Saya hati-hati, karena brand millenial yang mereka bawa itu jangan sampai akhirnya memojokkan generasi kita.

"Tuh kan, yang muda sama aja."

Padahal praktek begitu lebih parah lagi terjadi di penyerapan anggaran belanja negara. Bagi-bagi jatah proyek di Badan Anggaran ke fraksi-fraksi yang ada. Fakta pahit yang sungguh brutal.

Bedah aja itu 2000T lebih. Cara negara belanja seperti apa. Akan keliatan lagi parah-parahnya.

Tapi oke lah. Saya ijin berpendapat. Tanpa tendensi apa-apa. Saya sangka baik para stafsus millenial maksud dan tujuannya baik, namun secara ethic mungkin publik gak bisa terima. Nanti kita bahas detail.

*****

Tulisan saya kali ini lebih menyoroti cara negara mensubsidi lapis Pra Kerja. Yang katanya bakal dapat sekian juta rupiah itu. Dan semua berharap.

Benar saja. Diluncurkan programnya. Saya dalam hati sudah seneng, alhamdulillah, ada lapis generasi yang bakal dapat bantuan langsung. Karena saya termasuk mazhab basic income guarantee. Saya seneng kalo segmen masyarakat yang susah disubsidi aja. Cash langsung.

Lalu mulailah diberitahu mekanisme pencairannya. Ternyata dibundling dengan pelatihan. Gak semuanya cash. Nyesek. Berasa kayak program tepu-tepu. Berasa kayak di PHP. Beneran.

3,55 juta itu. 1 juta bantuan akses program pelatihan online gratis. 2,4 jutanya cash, 600 rb x 4 bulan. Dan insentif 150 rb. Ini juga entah apa semua pengangguran mau daftar, dan apakah sosialisasinya cukup, karena harus verifikasi. Dan 2,4 juta itu entah gimana lagi cara cairnya. Cash beneran atau program lagi. Wallahualam.

Lalu saya baca thread tentang apa pelatihannya. Basisnya online. Video. Pake platform.

Saya pemain edukasi digital juga. Cost nya teramat ringan untuk sekedar take video dari trainer. Lalu direkam. Lalu diakses. Gak live dua arah kan itu pelatihan?

Oke lah ada host, server. bandwith, ya paling berapa? Tetiba ketemua angka 5,6 T untuk pelatihan online.

dan pelatihannya saya simak judul-judulnya lebih ke internet marketing. Bikin copywriting. Public speaking. Hmmm..

Khawatirnya di youtube mah udah banyak. Atau mending begituan mah gratis aja. Serahkan pada anak2 IMERS, bakal dibuatin yang bagus.

Negara bantu blast email aja, ke link pelatihan gratis para IMERS. Asli pada mau. Dapat data base mereka.

Saya faham. Niat pemerintah bagus. Jangan dikasih cash, nanti manja. Jangan dikasih bantuan langsung, gak mendidik.

Hmmm..

Disini letak fundamental yang harus kita bahas.

*****

Di printscreen yang saya sertakan di postingan ini, adalah sesi TEDtalk Rutger Bregman.

Topiknya sangar :

"Poverty isn't a lack of knowledge, it's a lack of cash"

Saya sarankan nonton tayangan beliau. Di aplikasi TED ada sub indonya. Paksain nonton setelah membaca postingan ini. Di Youtube juga ada.

Baik, kita lanjut.

Inti penyampaian Rutger ini, masyarakat miskin itu selalu bolak balik ambil keputusan hidup yang salah karena memang memory RAM berfikirnya habis sama tekanan hidup.

Ketika orang mau makan susah, mau berteduh gak bisa, besok bingung harus gimana, maka relatif manusia kehilangan ketenangan, stress dan reaktif.

Buktinya, di area pemukiman padat, para rentenir bunga 20% per bulan kebanjiran nasabah. Masyarakat miskin akhirnya ngutang untuk dapat 500rb sd 1 juta buat makan dan lanjutin tempat tinggal, bayar sewa kontrakan.

Ya itu terjadi karena gak bisa mikir lagi mereka. Hantam aja apa yang ada didepan mata. Pokoknya dapat cash. Bisa makan.

Maka teori dari Rutger, masyarakat yang kekurangan harus diberi jaminan penghasilan dasar oleh negara. Agar bisa makan dan berteduh.

Rutger ngejelasin data ilmiah, bahwa pernah dilakukan di Kanada. Lalu distop. Dan di cek saat kebijakan tersebut diterapkan, produktifitas naik, masyarakat bertumbuh. Gak ada tuh istilah jadi males.

Waktu saya ke Perth juga ternyata Austalia juga pake kebijakan yang sama untuk warga negaranya. Khusus citizen, permanent residence gak dapet.

Ketika Anda warga negara Australia, masuk usia produktif, dan gak punya penghasilan, Anda akan dapat settlement fee dari negara. Sekian ribu AUD. Detailnya saya lupa. Monggo kalo ada yang tahu.

Itu mengapa WNI yang melahirkan anak disana, pada saat anaknya usia 17 tahun, anaknya lebih memilih menjadi citizen Aussie. Gak bakalan mau jadi WNI. Gak ada untung-untungnya. He he he.

Lanjut ya...

Konsep ini yang seharusnya kita berani terapkan.

Jadi ngerasa dosa udah sangka buruk sama Pak SBY saat zaman beliau banyak BLT. Bantuan Langsung Tunai. Bagaimana pun itu langkah berani yang patut diapresiasi. Walau gak cukup sih. BLT nya kekecilan.

*****

Begitulah konsep zakat dalam Islam. Output dari Zakat itu adalah memastikan masyarakat gak mampu untuk hidup dalam standard kecukupan dasar. Kebutuhan dasarnya terpenuhi.

Maka pola tarikan zakat dalam pemerintahan Islam ya dipaksa. Karena itu hak penerima zakat. Dan penyalurannya rigid ke 8 golongan penerima.

Islam itu pro Basic Income Guarantee.

Ngerti sih, kalo di Indonesia, dikasih cash malah beli rokok, bisa jadi malah judi. Ngerti.

Oke lah, kasih yang lain. Konvert bantuannya ke beras, fasilitas pemukiman gratis sementara, dan bentuk jaminan kebutuhan dasar lainnya.

Intinya harus berani jamin kebutuhan dasar.

Kenapa?

Karena dengan terjaminnya kebutuhan dasar, seseoang bisa berfikir tenang dan akhirnya bisa mengambil keputusan yang benar didalam hidupnya. Termasuk belajar dan bertumbuh.

*****

Bahasannya saya dalamin ya.

Gerakan Infaq Beras nya Kiyai Luqmanulhakim Ashabul Yamin pernah dikomenin. Kenapa ngasih beras ke pondok-pondok yatim penghafal Al Quran, nanti pondok jadi manja. Kiyainya jadi gak kerja.

Kenyataannya, begitu beras sudah tercukupi, kiyainya tenang, jadi bisa mikir ke nanam lombok, bikin empang, bangun peternakan. Karena beras sudah aman.

Tantangan pondok gratisan itu beras. Beras itu sudah kayak nyawanya santri. Gak ada beras, kiyai pusing 7 keliling. Makanya kami support beras. Hampir 500 ton per bulan. Ke ribuan pondok se Indonesia.

Begitu juga Berkah Box, kenapa kok bantuanya bagi-bagi nasi box. Ngasih makan. Apa gak manja nantinya? Malah malas kerja?

Konsep kami, kenyangkan dulu. Baru ajak bicara.

Perutnya dijamin dulu, baru bicara pelatihan, baru bicara pertumbuhan karakter.

Ini orang miskin akut dikasih pelatihan bikin roti. Dikasih oven sama terigu. Ya habis lah. Terigunya dimakan, ovennya dijual. Mana bisa segmen miskin akut harus nunggu putaran cash dari jualan roti. Lagian jualnya gimana juga, gak ada outletnya.

Masyarakat miskin akut dikasih modal ternak sapi. Itu sapi cashflow setahun sekali pas qurban. Ya dijual lah si anakan sapinya ke tetangga yang lain. Gagal pemberdayaan. Mereka setiap hari butuh makan.

Mau ngasih pelatihan karakter ke orang yang lagi lapar. gimana mau masuk kedalam hati dan kepala? Kenyangkan dulu perutnya, baru ajak belajar. InsyaAllah nyambung.

Belajarlah dari NU. Organisasi besar negeri ini. Setiap pengajian ada nasi berkat, kenduri, makan-makan. Itu SOP ulama : kenyangkan dulu ummat, baru ajak ngobrol.

Hari ini kita harus sadar, akses pendidikan gak fair ke semua lapis anak bangsa. Akses informasi juga demikian. Akses nutrisi bergizi apalagi.

Maka janganlah kita berteori :

"salah sendiri miskin, males sih, gak tekun sih, bodoh sih, pengangguran sih."

Gini aja, coba aja tukar tempat, Anda sama segmen miskin itu.

Sorry ya... Mungkin gak semua.

Kita yang hari ini bisa ngenyam pendidikan tinggi, bisa berpenghasilan, itu kenapa?

Relatif lahir dari keluarga cukup bahkan kaya.
Relatif hidup dalam cukup bahkan lebih.
Relatif kita taqdirnya hidup di lingkungan yang mendukung.

Maka janganlah terlalu liberal melihat persaingan hidup, bahwa yang miskin biarlah miskin. Itu konsekuensi. Yang kaya ya memang wajar berhasil karena berkarya.

Ck ck ck... Pemikiran ini yang jadi biang runtuhnya kehidupan manusia.

*****

Tau gak Amerika hari ini kerepotan sama covid. Dari sahabat di US WA ke saya, terjadi sangat parah di daerah black people. Daerah slum. Daerah minus di amerika.

Konsep liberal Amerika jelas. Miskin ya miskin lah. Nasib setiap warga diserahkan pada mekanisme alam saja. Negara gak intervensi sama sekali.

Begitu ada wabah, meledak masalah. Bagaimana pun satu negara ini ekosistem terkait. Kalo yang miskin anda gak proteksi dengan kecukupan, ujungnya bisa balik merusak.

Kita di Indonesia mungkin sebagian mikir yang sama.

"Udahlah, ngapain ngurusin orang miskin, yang penting nyelamatin diri sendiri, bisa idup, miskin ya miskin aja."

Oke...

Kalo cuek begini...

Suatu saat kemiskinan ini mencekik, kriminalitas naik, kemalingan dimana-mana, siapa yang rugi?

Suatu saat kesulitan sudah mendalam, akhirnya terjadi penjarahan dan chaos, siapa yang rugi?

Yang Kaya pun susah mau keluar rumah, logistik terganggu, mau di rumah pun deg deg an.

Yang rugi kita semua, karena kita berada dalam satu ekosistem yang saling kait mengait.

So kawan-kawan, bismillah...

Tolong kembali peduli sama sekitarnya.

Oke lah negara gak bisa jamin basic need faqir miskin, setidaknya kita secara swadaya, ngejaga orang-orang terdekat kita untuk tetap bisa makan.

Siapa tahu... Dengan melakukan tugas apa yang seharusnya dilakukan oleh negara, Allah azza wa jalla menyerahkan pengelolaan negara ini kepada kita.

URS
Serial Cahaya - part 3

*****

Sahabat yang berkenan mendukung gerakan kami berbagi nasi box setiap hari, silakan klik http://BerkahBox.com/

Jumat, 13 Oktober 2017

KAPIT DAN BRUTAL (KAPITAL)???

Sebenarnya dari beberapa buku yang saya baca tentang kapitalis banyak berbagai versi yang menyebutkan apa itu definisi kapitalis. Para ahli ekonomi banyak yang mendefinisikannya secara jelas dalam konteks zamannya, akan tetapi tidak sesuai lagi dengan konteks zaman sekarang. Kapitalis bila di lihat dari beberapa aspek mungkin akan mendukung dan mempermudah kita dalam memehami apa itu kapitalisme. Saya akan menjabarkan kapitalis secara sudut historis dan definisi para ahli dari zaman ke zaman.
Kapitalisme Historis
Kapitalisme berasal dari kata kapital yang berarti modal. Modal merupakan element dasar dari kapitalis sesuai dengan definisinya, namu apa itu modal dalam kapitalis merupakan akumulasi kekayaan baik itu stok barang-barang yang dapat di konsumsi, mesin-mesin produksi atau klaim yang sah atas barang-barang dalam bentuk uang. Modal dalam kapitalis tentu saja menunjuk kepada akumulasi masa lalu yang belum digunakan. Jadi dapat kita simpulkan bahwa seama ini kita seang nelihat sistem kapitalis beroperasi karena setiap peruasaan selalu meakumulasi modal masa lalu yang belum digunakan.
Definisi menurut para ahli
Istilah kapitalisme selalu menjadi hal yang didukung dilain pihak sistem kapitalisme ditolak karena perdebatan dalam memahami dan mengintrepretasikan yang tidak selalu jelas untuk di mengerti. Definisi kapitalis menurut Proudhon (1867) menyatakan bahwa “rezim ekonomi dan sosial, dimana kapital, sebagai sumber pendapatan, pada umumnya bukan milik mereka yang membuatnya melalui kerja”[1]
Menurut Warner Sombart mengakui Kapitalisme sebagai kosep fundamental dari suatu sistem pemikiran ekonomi dalam bukunya Der Moderne Capitalismus.
Sebagai sistem pemikiran Kapitalisme ditandai dengan  tiga semangat yaitu; pemilikan, persaingan dan rasionalitas.[2]
Pandangan milton friedman tentang Kapitalism bangkit menjadi suatu sistem yang diperjuangkan dan dibersihkan dari unsur-unsur sosialisme yang selama ini mengganggu bekerjanya sistem kapitalisme yang “murni”.[3]
Kapitalisme identik dengan suatu sistem perusahaan perorangan yang tidak terkekang, suatu sistem dimana hubungan sosial dan ekonomi diikat dalam suatu kontrak , di mana orang merupakan pelaku bebas dalam mencari kehidupan mereka, serta tidak ada ikatan dan pembatas dan tekanan-tekanan yang sah.
Kapitalisme Klasik
Kapitalisme klasik mencerminkan sebagai sumber yang menyebabkan munculnya kondisi kaum buruh di eropa pada abad pertengahan yang meyebabkan kesengsaraan di kalangan para buruh dan oleh karena kapitalisme klasik ini juga muncul kolonialisasi dan imprealisme. Perkembangan sejarah saat ini telah membuat perombakan bahkan perubahan dari sistem kapitalisme klasik, sehingga yang berlaku sekarang ini adalah sistem ekonomi campuran yaitu pencampuran dari sistem ekonomi pasar dan sistem ekonomi peranan pemerintah.[4] Sistem ekonomi yang ada sekarang dianggap sebagai sistem ekonomi campuran yang dianggap telah mampu menghilangkan unsur-unsur jahat sistem ekonomi kapitalis.
Konotasi sistem ekonomi kapitalisme  yang berkembang di Indonesia ialah negatif yaitu sistem kapitalisme model klasik. Sistem kapitalisme Klasik ini pernah menjadi realita dalam sistem ekonomi di negara Inggris dan Amerika pada abad XIX. Ciri terpenting di dalamnya yaitu;
1.                  Berlangsungnya kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan kecil dalam jumlah besar, dimiliki oleh perorangan atau keluarga secara langsung mengemudikan jalan usaha.
2.                  Pengaturan kegiatan ekonomi dilakukan oleh apa yang disebut “pasar” dimana persaingan bebas berlaku secara dominan.
3.                  Terjadinya alokasi buruh atau tenaga kerja diantara para majikan melalui sistem upah atau kontrak kerja dalam meknisme pasar tenaga kerja.
4.                  Negara pada dasarnya tidak melakukan intervensi dalam sistem pasar, melainkan lebih banyak membiarkan sistem pasar bekerja secara bebas.[5]
Neo-liberal
Selama perang dunia II dan sesudahnya muncullah suatu aliran yang dinamakan “neo-liberalisme”. Aliran ini menghendaki pembaharuan/perubahan pada liberalisme klasik. Kaum neo-liberal ini menginginkan intervensi pemerintah dalam proses ekonomi yang bertujuan agar pembentukan harga secara bebas.[6] Akan tetapi seorang moneteris anobel F.A Hayek pernah berkata secara terbuka bahwa sebuah masyarakat yang berbasis pasar bebas secara konsisten akan menciptakan kesempatan-kesempatan yang tidak adil dan tidak pada tempatnya. Pernyataan ini menunjuk pada keuntungan umum yang dicapai semua orang atas maksimalnya kesempatan-kesempatan pertukaran dan pilihan industri.
Kapitalisme Modern
Berasal dari Inggris pada abad 18 dan kemudian menyebar ke Eropa Barat dan Amerika Utara.
Kapitalisme merupakan sebuah sistem organisasi ekonomi yang dicirikan oleh hak milik privat atas alat-alat produksi dan distribusi (tanah, pabrik-pabrik, jalan-jalan kereta api, dan sebagainya) dan pemanfaatannya untuk mencapai laba dalam kondisi-kondisi yang sangat kompetitif.[7]


[1] Baca, M Dawam Raharjo Kapitalisme Dulu dan Sekarang, (Jakarta; LP3ES, 1987)
[2] Baca keterangan warner Sombart dalam article “Capitalism”dalam Encyclopaedia of sosial sciences, vol. 3-4, hal.195.
[3] Pandangan Milton Friedman dalam buku Kapitalism and Freedom, (Chicago: The University of Chicago Press, 1971)
[4] Paul A. Samuelson & Peter Timmer Economics, Mac Graw-Hill Kogakusha, Ltd, 1976, hal. 41-43 dan 831.
[5] Ciri ini dirumuskan oleh N. Abercombrie dalam The Dictionary of Sosiology, Penguin, 1984 lihat hal. 31.
[6] Baca Kapitalisme Versus Sosialisme suatu analisis ekonomi teoritis, Winardi, Remadja Karya, 1986 hal. 33
[7] Milton H.Spencer, Contemporary Macro Economics, 1977 hal. 29

Sabtu, 07 Oktober 2017

ANTARA NASEHAT DAN GHIBA



Oleh
Ustadz Fariq Bin Gasim Anuz

Telah banyak buku-buku yang menjelaskan tentang ghibah dan keharamannya dilengkapi dengan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunah yang shahih, maka sekarang penyusun hanya akan menukilkan apa-apa yang diperbolehkan dari ghibah, khususnya point yang keempat, yaitu dalam rangka memberi nasehat, dan penjelasan ulama mengenai perbedaan antara nasehat dan ghibah.
Imam Nawawi rahimahullah berkata.
“Ketahuilah bahwasanya ghibah diperbolehkan untuk tujuan yang benar dan syar’i, di mana tidak mungkin sampai kepada tujuan tersebut, kecuali dengan cara berghibah, yang demikian itu disebabkan enam perkara :
Yang keempat, dalam rangka memberi peringatan kepada kaum muslimin dari keburukan dan dalam rangka memberi nasehat kepada mereka, dan yang demikian itu dalam kondisi-kondisi berikut ini.
Di antaranya, dalam rangka menjarh (meyebutkan cacat) para majruhin (orang-orang yang disebutkan cacatnya) dari para rawi hadits dan saksi, dan yang demikian itu diperbolehkan berdasarkan ijma’ kaum muslimin, bahkan bisa menjadi wajib hukumnya.
Dan di antaranya pula dalam rangka musyawarah yang berhubungan dengan ikatan tali perkawinan dengan seseorang, atau dalam hal kerjasama, atau dalam hal titipan kepada seseorang, atau bergaul, atau dalam hal bertetangga dengannya, atau dalam hal lainnya, dan wajib atas orang yang diajak untuk bermusyawarah untuk terus terang menyebutkan keadaan orang tersebut dan tidak boleh ia menyembunyikannya, bahkan ia harus menyebutkan kekurangan yang ada padanya dengan niat untuk memberi nasehat.
Dan di antaranya, apabila ia melihat seorang penuntut ilmu mondar-mandir mendatangi majelis ahli bid’ah, atau seorang yang fasik, dan menimba ilmu darinya, maka dia takut kalau-kalau si penuntut ilmu tersebut terpengaruh dan berakibat negatif kepadanya, maka ia harus menasehatinya dengan menjelaskan keadaan ahli bid’ah atau orang fasik tersebut, dengan syarat semata-mata maksudnya adalah nasehat, dan ini termasuk dari apa-apa yang disalahgunakan padanya. Karena terkadang yang mendorong si pembicara tadi untuk berbicara adalah faktor hasad, dan ini adalah perangkap iblis kepada orang tersebut, dikhayalkan kepadanya bahwa yang ia sampaikan adalah nasehat, hendaklah hal ini diperhatikan dengan baik.
Dan di antaranya, apabila seorang yang memiliki kedudukan dalam pemerintahan, sedang ia tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya, bisa disebabkan karena memang ia tidak pantas menduduki jabatan tersebut, atau karena ia itu adalah orang yang fasik atau ia orang yang lalai, dan yang semacamnya, maka wajib untuk memberitahukan hal ini kepada atasan orang tadi agar atasan tersebut memecatnya dan menggantikannya dengan orang yang pantas, atau atasan yang mengetahui ketidakberesan bawahannya ia dapat membuat kebijaksanaan yang adil sesuai dengan kondisi bawahannya, serta ia berusaha untuk memberi motivasi kepadanya agar tetap istiqamah, selalu berjalan di atas relnya atau kalau memang tidak bisa, ia menggantikannya dengan orang lain.”[1]
Setelah beliau menyebutkan enam point dari hal-hal yang diperbolehkan untuk berbuat ghibah, lalu beliau mengemukakan dalil-dalilnya yang masyhur dari hadits-hadits yang shahih, di antaranya adalah:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَجُلاً اسْتَأْذَنَ عَلَى النَّبِيِّ فَقَالَ ائْذَنُوْا لَهُ, بِئْسَ أَخُوْا الْعَشِيْرَةِ
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa seseorang meminta izin untuk masuk menemui Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau berkata, “Izinkanlah dia untuk masuk, ia sejahat-jahat orang di tengah kaumnya.” [Muttafaq ‘Alaih] [2]
عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ قَالَتْ : أَتَيْتُ النَّبِيَّ فَقُلْتُ : إِنَّ أَبَا الْجَهْمِ وَ مُعَاوِيَةَ خَطَبَانِ, فَقَالَ رَسُوْلُ الله : أَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوْكٌ لاَ مَالَ لَهُ. وَأَمَّا أَبُوْا الْجَهْمِ فَلاَ يَضَعُ الْعَصَا عَنْ عَاتِقِهِ. وَفِيْ رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ : وَأَمَّا أَبُوْا الْجَهْمِ فَضَرَّابُ لِلنِّسَاءِ
Dan dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha, ia berkata: Saya mendatangi Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, maka aku berkata, “Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah, keduanya telah meminangku?” Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Adapun Mu’awiyah dia seorang faqir tidak memiliki harta, sedangkan Abul Jahm, tongkatnya tidak pernah lepas dari bahunya.” Dan dalam riwayat Muslim (lainnya), “Sedangkan Abul Jahm sering memukul wanita.” Kalimat tersebut merupakan penjelasan dari riwayat “Ia tidak melepaskan tongkat dari bahunya.” Dan dikatakan bahwa maknanya: sering mengadakan bepergian (safar).”[3]
Syaikh Salim Al-Hilali menyatakan dalam kitabnya Bahjatun Naazhirin Syarah Riyadhus Shalihin. “Hadits ini dikeluarkan oleh Muslim (1480).
Perhatian: Hadits ini tidak dikeluarkan oleh Al-Bukhari, sebagaimana telah ditulis dan diingatkan oleh para huffazh.”[4]
Syaikh Salim Al-Hilali menyebutkan juga dalam kitab yang sama:
“Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah telah mengulas ucapan Imam Nawawi tentang enam point dari hal-hal yang diperbolehkan untuk berghibah, pent) dalam suatu risalah yang beliau beri nama Raf’ur Raibah ‘ammaa yajuzu wa maa laa yajuzu minal ghibah, dan sekarang ini saya menyebutkan apa-apa yang nampak olehku sisi kebenaran dalamnya.
Asy Syaukani berkata.
“Dan saya berkata dengan memohon pertolongan Allah dan bertawakal kepadanya sebelum berbicara mengenai bentuk-bentuk yang ada ini. Ketahuilah, bahwa kami telah mengemukakan bahwa pengharaman ghibah terdapat dengan jelas dalam Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’, dan konteks yang terdapat dalam Al Qur’an dan As-Sunnah secara umum dan menyeluruh mempunyai konsekuensi pengharaman ghibah dari setiap individu dari pribadi-pribadi kaum muslimin kepada setiap individu dari mereka pula, maka tidak boleh ada pendapat yang menghalalkan ghibah dalam tempat tertentu bagi pribadi atau masyarakat, kecuali dengan membawa dalil yang mengkhususkan keumuman pengharaman ini, apabila dalil tersebut telah tegak atas yang demikian maka itulah yang diharapkan, dan apabila tidak didapati dalil maka itu berarti berdusta atas nama Allah, dan termasuk menghalalkan apa-apa yang
Allah haramkan tanpa keterangan dari Allah” [5]
Saya (Syaikh Salim) berkata pula:
“Apa yang disebutkan oleh Asy-Syaukani merupakan kriteria yang penting di mana ia memberikan rambu-rambu yang agung, di antaranya
1. Bahwa kebolehan dari berbuat ghibah merupakan perkecualian disebabkan keadaan tertentu, apabila sebab tersebut telah hilang maka hukum tadi kembali kepada asalnya, yaitu pengharaman ghibah.
2. Bahwa kebolehan ini sebagai suatu keterpaksaan, sehingga harus dibatasi sesuai dengan batasannya, maka tidak boleh dengan seenaknya secara leluasa dalam hal perkecualian ini, tetapi bagi yang terpaksa dalam rangka memberikan nasehat, maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Rabbnya dan janganlah sekali-kali ia menjadi orang yang melampaui batas..
Dan apa yang disebutkan oleh An-Nawawi merupakan praktek dari kaidah “mengutamakan maslahat yang jelas adanya atas mafsadah yang belum tentu muncul”, dan ini merupakan kaidah yang besar dari maksud-maksud syari’at.”[6]
Syaikh Salim Al-Hilali mengatakan pula:
“Saya berkata: Apabila nasehat itu dilontarkan secara global sudah mencapai sasaran dan terang maksudnya maka cukup dengan global dan hal itu merupakan suatu kenikmatan, tetapi kalau tidak cukup dengan global maka tidak ada jalan lain bagi dia kecuali harus dengan menyebutkan orangnya, tetapi harus ada batasannya tidak boleh seenaknya dengan leluasa sehingga keluar batas dalam berbicara karena berlebih-lebihan dalam berbicara itu merupakan batu sandungan yang membuat ia terjatuh.”[7]
FAEDAH
Syaikh Husein Al-Awaisyah dalam sebuah bukunya menuliskan sebuah bab yang artinya, “Perkara-perkara yang disangka bukan ghibah, tetapi sebenarnya termasuk ghibah”, di antaranya beliau menyebutkan dalam point yang kedelapan,
“Dan barangkali Allah memberi keutamaan kepada seseorang dalam hal amar ma’ruf nahi munkar, di mana tidak sembarang orang dapat menasehati orang lain lebih-lebih kalau orang yang dinasehati tersebut sulit untuk menerima nasehat, kemudian orang tersebut menerima nasehatnya dengan jujur dan ikhlas, dan nampak dari dia keinginan yang kuat untuk bertaubat, akan tetapi si penasehat tersebut nampaknya lemah dalam menghadapi syetan, tiba-tiba ia menceritakan aib orang tersebut di hadapan manusia, “Si fulan melakukan ini dan itu, si fulan berbuat demikian, kemudian saya menasehatinya.”
Faktor apalagi kalau bukan mengikuti hawa nafsu dan cinta berbuat ghibah yang mendorong orang tersebut menyampaikan cerita tadi di hadapan manusia?!
Bukankah tujuan amar ma’ruf nahi munkar agar yang ma’ruf tersebar diantara manusia, dan yang mungkar menjadi mati tak berkutik ?! Kalau begitu mengapa disertai dengan pembicaraan dan komentar, padahal tujuan telah tercapai?! Ataukah sudah berbalik, sehingga orang yang mengajak kepada yang ma’ruf telah diperintah oleh syetan, dan orang yang melarang kemungkaran, ia sendiri terjerumus kedalam kemungkaran.”[8]
Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata:
“Dan perbedaan antara nasehat dan ghibah adalah bahwa nasehat itu bermaksud dalam rangka memberi peringatan kepada seorang muslim dari bahayanya ahli bid’ah, penyebar fitnah, penipu, atau perusak…”
Sampai beliau berkata:
“Maka apabila menceritakan kejelekan orang lain dalam rangka nasehat yang diwajibkan oleh Allah dan RasulNya kepada hamba-hambanya kaum muslimin maka hal yang demikian adalah taqarub kepada Allah, termasuk amal kebaikan , tetapi apabila menceritakan kejelekan orang lain bermaksud mencela saudaramu dan menodai kehormatan dan memakan dagingnya agar engkau menyia-nyiakan kedudukan dia di hati-hati manusia maka maksiat tersebut merupakan penyakit yang kronis dan api yang melalap kebaikan sebagaimana api yang membakar kayu bakar.”[9]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Menyebutkan kejelekan manusia dengan apa-apa yang tidak disukai oleh mereka pada asalnya ada dua macam.
Pertama : Menyebutkan perbuatannya.
Kedua : Menyebutkan orangnya yang tertentu, baik ia masih hidup ataupun telah meninggal dunia.
Yang pertama, setiap macam perbuatan yang dicela oleh Allah dan RasulNya, maka seorang muslim wajib mencelanya pula, dan hal yang demikian bukanlah termasuk perbuatan ghibah, sebagaimana setiap macam perbuatan yang dipuji oleh Allah dan RasulNya, maka wajib ia memujinya pula …” [10]
Sampai beliau berkata:
“Apabila tujuannya adalah mengajak kepada kebaikan dan menganjurkannya, serta melarang keburukan dan memperingatkan darinya, maka harus menyebutkan keburukan perbuatan tersebut. Oleh karena itu, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Apabila mendengar seseorang melakukan pelanggaran, beliau shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda.
مَا بَالُ رِجَالٍ يَشْتَرِطُوْنَ شُرُوْطًا لَيْسَتْ فِي كِتَابِ اللهِ مَا كَانَ مِنْ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ
“Mengapakah orang-orang memberikan syarat-syarat yang tidak ada pada kitab Allah ? Barangsiapa memberikan syarat yang tidak ada pada kitab Allah, maka dia itu batil, meskipun seratus syarat.”[11]
مَا بَالُ رَجُالٌ يَتَنَزَّهُوْنَ عَنْ أَشْيَاءَ أَتَرَخَّصُ فِيْهَا؟ وَاللَّهِ إِنِّي لَأَتْقَاكُمْ للَّهِ وَأَعْلَمُكُمْ بِحُدُوْدِهِ
“Mengapakah orang-orang meninggalkan hal-hal yang aku perbolehkan? Demi Allah, sesungguhnya aku orang yang paling bertaqwa kepada Allah dan yang paling tahu akan batasan-batasannya di antara kalian.” [12]
مَابَالُ رِجَالٍ يَقُوْلُ أَحَدُهُمْ : اَمَّا اَنَا فَأَصُوْمُ وَلاَ أُفْطِرُ؟ وَيَقُوْلُ الآخَرُ : اَمَّا اَنَا فَأَقُوْمُ وَلاَ أَنَامُ ؟ ويَقُوْلُ الآ خَرُ : لاَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، ويَقُوْلُ الآ خَرُ : لاَ اَكُلُ الَّلحْمَ؟ لَكِنِّي أَصُوْمُ وَ أَفْطِرُ وَ أَقُوْمُ وَأَنَامُ وَأَتَزَّوَجُ النِّسَاءَ وَاَكُلُ اللَّحْمَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى
“Mengapakah orang-orang ada satu di antaranya mengatakan, “Adapun saya akan selalu berpuasa tidak akan berbuka,” dan ada lainnya mengatakan, “Adapun saya akan selalu bangun malam tidak akan tidur,” dan orang lainnya berkata, “Saya tidak akan menikahi wanita,” dan yang lainnya mengatakan, “Saya tidak akan makan daging.” Tetapi saya sendiri berpuasa dan berbuka, bangun malam dan tidur, menikahi wanita, makan daging, maka barangsiapa yang benci terhadap sunnahku, maka bukanlah ia termasuk golonganku.”[13]
Sampai beliau berkata:
“(Yang kedua), sedangkan menyebutkan keburukan orang lain, sekaligus menyebutkan orangnya dapat dilakukan dalam beberapa kejadian tertentu.
Di antaranya orang yang dizalimi, maka ia berhak menyebutkan orang yang menzaliminya, baik dalam rangka menolak kezalimannya ataupun untuk mendapatkan haknya, sebagaimana Hindun berkata, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang pelit, ia tidak memberikan kecukupan nafkah kepadaku dan anakku, (kecuali saya mengambil harta darinya tanpa sepengetahuan dia, maka baru mencukupi kami),” maka beliau menjawab, “Ambillah apa-apa yang mencukupimu dan anakmu secukupnya.”[14] [Muttafaq alaih]
Sampai beliau berkata:
“Dan di antaranya dalam rangka memberi nasehat kepada kaum Muslimin dalam urusan dien dan dunia mereka sebagaimana dalam Hadits yang shahih dari Fatimah binti Qais ketika dia bermusyawarah dengan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam tentang siapa yang akan dinikahinya ia berkata, “Abu Jahm dan Muawiyah telah meminang saya.” Maka beliau memberikan nasehat, “Adapun Muawiyah dia orang yang faqir tidak memiliki harta, sedangkan Abu Jahm ia seorang yang suka memukuli wanita” dan diriwayatkan “ia tidak pernah meletakkan tongkat dari bahunya”, maka beliau menjelaskan kepadanya bahwa yang satu fakir, mungkin tidak mampu memenuhi hakmu, dan yang satu lagi menyakitimu dengan pukulan. Dan yang seperti ini adalah nasehat kepadanya – meskipun mencakup penyebutan aib si peminang -.
Dan termasuk juga di dalamnya, nasehat kepada seseorang mengenai orang yang akan diajak kerjasama, yang akan ia beri wasiat kepadanya, dan yang akan menjadi saksi bagi dia, bahkan orang yang akan menjadi penengah urusan dia, dan yang semisalnya.
Apabila hal ini berkenaan dengan maslahat khusus, maka bagaimana dengan nasehat yang berhubungan dengan hak-hak kaum muslimin pada umumnya, berupa para penguasa, para saksi, para karyawan, pegawai dan selain dari mereka ? maka tidak ragu lagi bahwa nasehat dalam hal tersebut lebih agung lagi, sebagaimana Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ
“Dien itu nasehat, dien itu nasehat.” Mereka berkata, “Kepada siapa wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Kepada Allah, kepada Kitab- Nya, kepada Rasul-Nya, dan kepada para penguasa kaum muslimin serta kepada kaum muslimin pada umumnya.”[15]
Dan mereka berkata kepada Umar Ibnu Khaththab mengenai ahli syura, “Jadikanlah si fulan dan si fulan sebagai amir,” lalu Umar menyebutkan kekurangan mereka berenam satu persatu, padahal mereka seutama-utama umat, beliau menjadikan kekurangan yang ada pada mereka sebagai penghalang bagi dia untuk memilih mereka.
Apabila demikian, maka nasehat yang berkenaan dengan maslahat-maslahat dien, baik khusus maupun umum hukumnya wajib, seperti perawi hadits yang salah atau yang berdusta sebagaimana Yahya bin Said berkata, “Saya bertanya kepada Malik dan Ats-Tsaury dan Al-Laits bin Sa’ad, saya kira dia, dan Al-Auzai mengenai seseorang yang tertuduh dalam hadits atau tidak hafal. Mereka semuanya berkata, ‘Jelaskan keadaannya’.” Dan sebagian orang berkata kepada Imam Ahmad bin Hambal, “Sesungguhnya berat bagi saya untuk mengatakan si fulan begini dan si fulan begitu.” Maka beliau berkata, “Apabila engkau diam dan saya diam, maka kapan orang yang jahil mengetahui dan dapat membedakan yang shahih dan bercacat?!”
Begitu pula misalnya, dalam rangka menjelaskan para imam ahli bid’ah, baik tokoh mereka dalam hal aqidah ataupun tokoh mereka dalam hal ibadah yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As Sunnah, maka penjelasan keadaan mereka dan peringatan umat dari bahaya mereka hukumnya wajib berdasarkan kesepakatan kaum muslimin sampai-sampai dikatakan kepada Ahmad bin Hambal, “Mana yang lebih engkau cintai, seseorang yang puasa dan shalat serta ber’itikaf ataukah orang yang membantah ahli bid’ah?” Maka beliau menjawab, “Apabila dia shalat, puasa dan i’tikaf maka hanya untuk dirinya sendiri, dan apabila ia membantah ahli bid,ah maka hal itu untuk kepentingan kaum muslimin dan ini yang lebih utama.” Maka ia menjelaskan bahwa manfaat hal ini untuk kepentingan kaum muslimin pada umumnya dalam dien mereka. Maka membantah ahli bid’ah termasuk jihad di jalan Allah, di mana memurnikan dien Allah, jalan, manhaj, dan syari’atNya serta menolak kejahatan dan permusuhan mereka merupakan wajib kifayah berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, kalau tidak ada orang yang Allah tampilkan untuk menolak bahaya mereka tentu dien ini akan rusak, dan rusaknya itu lebih parah dari sekedar musuh yang menjajah kaum muslimin, karena apabila mereka menguasai, mereka hanya menguasai fisik pada mulanya dan belum menguasai hati dan dien meskipun nantinya mereka pun berusaha menjajahnya pula, sedangkan ahli bid’ah mereka sejak awal sudah merusak hati-hati manusia.
Dan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda.
إنَّ الله لا ينْظُرُ إِلى أجْسَامِكُمْ ، ولا إِلى صُوَرِكمْ ، وَلَكن ينْظُرُ إلى قُلُوبِكمْ وأعمالكم
“Sesunggguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa kalian dan harta kalian tetapi Ia melihat kepada hati-hati kalian dan amal-amal kalian”[16]
Dan Allah berfirman dalam kitabNya.
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ ۖ وَأَنْزَلْنَا الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ وَرُسُلَهُ بِالْغَيْبِ ۚ إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-Rasul Kami dengan membawa
bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuataan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan Rasul-RasulNya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” [Al-Hadid/57 : 25]
Maka Allah memberitahukan bahwa Dia telah menurunkan Al-Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia melaksanakan keadilan, dan Dia telah menurunkan besi, sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas. Maka tonggak bagi dien itu adalah Al-Kitab yang memberi petunjuk dan pedang yang memberi pertolongan.
وَكَفَىٰ بِرَبِّكَ هَادِيًا وَنَصِيرًا
“Dan cukuplah Rabbmu menjadi Pemberi petunjuk dan Penolong.” [Al-Furqan/25 : 31]
Dan Al-Kitab dialah sebagai pokok, oleh karena itu pertama kali Allah mengutus RasulNya, Ia menurunkan kepada beliau Al-Kitab, selama beliau tinggal di Makkah, Allah belum memerintahkan beliau mengangkat pedang sampai beliau hijrah dan mempunyai pendukung-pendukung yang siap untuk berjihad.
Dan musuh-musuh dien itu ada dua macam: Orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Dan Allah telah memerintahkan NabiNya untuk berjihad melawan dua kelompok tersebut sebagaimana dalam firmanNya.
جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ
“Berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah kepada mereka.” [At-Taubah/9 :73]
Apabila orang-orang munafik berbuat bid’ah yang bertentangan dengan Al-Kitab,dan menipu manusia, lalu tidak dijelaskan kebid’ahan ini kepada manusia, maka rusaklah Al-Kitab, dan berubahlah dien ini, sebagaimana dien ahli kitab sebelum kita telah rusak pula disebabkan terjadinya perubahan dalam dien tersebut, sedangkan pelakunya tidak diingkari.
Dan apabila mereka itu bukan orang-orang munafik, akan tetapi mereka itu pendengar setia terhadap ucapan orang-orang munafik, tanpa mereka sadar bahwa bid’ah-bid’ah orang-orang munafik tersebut telah meracuni mereka sehingga mereka menyangka bahwa ucapan-ahli bid’ah tersebut benar, padahal sesungguhnya menyalahi Al-Kitab maka jadilah mereka itu juru da’wah yang mengajak kepada bid’ah-bid’ah orang munafik dan menjadi corong mereka. Sebagaimana Allah Subhana wa Ta’ala berfirman.
لَوْ خَرَجُوا فِيكُمْ مَا زَادُوكُمْ إِلَّا خَبَالًا وَلَأَوْضَعُوا خِلَالَكُمْ يَبْغُونَكُمُ الْفِتْنَةَ وَفِيكُمْ سَمَّاعُونَ لَهُمْ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِالظَّالِمِينَ
“Jika mereka berangkat bersama-sama kalian niscaya mereka tidak menambah kalian, kecuali kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas maju ke muka dicelah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di antaramu, sedang di antara kalian ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka.”[At Taubah/9 : 47]
Maka menjelaskan keadaan mereka harus dilakukan juga, bahkan fitnah dari apa yang mereka lakukan itu lebih besar, karena pada diri mereka ada keimanan yang mewajibkan kita untuk loyal kepada mereka, dan mereka telah terperosok kepada bid’ah-bid’ahnya orang-orang munafik yang merusak dien ini, maka harus adanya peringatan dari bid’ah-bid’ah tersebut, meskipun harus dengan meyebutkan mereka dan menunjukkan orang-orangnya, bahkan meskipun bid’ah yang mereka sebarkan bukan didapat dari orang-orang munafik, tetapi mereka mengucapkannya dengan persangkaan bahwasanya bid’ah tersebut adalah petunjuk dan kebaikan serta dari ajaran dien, padahal sesungguhnya bukan demikian, maka wajib pula menjelaskan keadaan mereka.
Oleh karena itu, wajib hukumnya menjelaskan keadaan orang yang salah dalam hadits dan riwayat, dan orang yang salah dalam pendapat dan fatwa, dan orang yang salah dalam hal zuhud dan ibadah, meskipun orang yang salah itu seorang mujtahid [17] yang telah diampuni kesalahannya, bahkan mendapat pahala atas ijtihadnya yang salah tersebut, maka penjelasan perkataan dan perbuatan yang sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah hukumnya adalah wajib, meskipun harus bertentangan dengan ucapan dan perbuatannya seorang mujtahid.
Apabila diketahui bahwa kesalahan mujtahid tersebut berupa ijtihad yang memenuhi kriteria dan persyaratan sebagai ijtihad, yaitu berdasarkan kaidah-kaidah syariah yang benar maka tidak boleh mencela dalam menyebutkan kesalahannya dan tidak boleh mengatakannya sebagai perbuatan dosa, karena sesungguhnya Allah telah mengampuni kesalahannya, bahkan wajib loyal dan cinta kepadanya dikarenakan padanya terdapat iman dan taqwa, dan wajib menunaikan hak-haknya, berupa pujian dan doa serta yang lainnya.
Dan apabila diketahui darinya bahwa ia itu sebagai orang-orang munafik sebagaimana diketahui di masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam seperti Abdullah bin Ubai dan konco-konconya, sebagaimana kaum muslimin mengetahui akan kemunafikan orang-orang Syiah Rafidhah, seperti Abdullah bin Saba dan yang sebangsanya, seperti Abdul Qudus Ibnul Hajjaj, dan Muhammad bin Sa`id Al-Mashlub, maka tipe seperti ini disebutkan pula kemunafikannya.
Dan apabila seseorang menyebarkan kebid`ahan dan belum diketahui apakah dia itu termasuk orang munafik atau seorang mu’min yang berbuat kesalahan disebutkan sesuai dengan apa-apa yang diketahui darinya, maka tidaklah halal bagi seseorang untuk berbicara tanpa ilmu, dan tidak halal baginya untuk berbicara dalam bab ini, kecuali dengan ikhlas semata-mata mencari ridha Allah Subhana wa Ta’ala, dan agar kalimat Allah menjulang tinggi dan agar dien itu semuanya milik Allah.
Maka barangsiapa yang berbicara dalam hal yang demikian tanpa ilmu atau terbukti bertentangan dengan fakta, maka ia berdosa.
Dan begitu pula halnya seorang hakim, saksi, dan mufti, sebagaimana Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda
.
اَلْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ: اِثْنَانِ فِي اَلنَّارِ, وَوَاحِدٌ فِي اَلْجَنَّةِ. رَجُلٌ عَرَفَ اَلْحَقَّ, فَقَضَى بِهِ, فَهُوَ فِي اَلْجَنَّةِ. وَرَجُلٌ عَرَفَ اَلْحَقَّ, فَلَمْ يَقْضِ بِهِ, وَجَارَ فِي اَلْحُكْمِ, فَهُوَ فِي اَلنَّارِ. وَرَجُلٌ لَمْ يَعْرِفِ اَلْحَقَّ, فَقَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ, فَهُوَ فِي اَلنَّارِ
“Macam-macam hakim itu ada tiga: dua di antaranya di neraka dan satu di surga. Seorang yang mengetahui kebenaran dan memutuskan perkara berdasarkan kebenaran, maka ia di surga, dan seorang yang yang memutuskan perkara kepada manusia atas kebodohan, maka dia di neraka, dan seorang mengetahui kebenaran, maka dia memutuskan perkara dengan menyalahi kebenaran yang ia ketahui, maka dia di Neraka.” [18]
Dan Allah Subhana wa Ta’ala berfirman.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ ۚ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا ۖ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَىٰ أَنْ تَعْدِلُوا ۚ وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah orang-orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu, jika ia kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kalian memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kalian kerjakan.” [An-Nisaa :135]
Dan “اللي ” artinya adalah dusta, dan “الإعراض ” adalah menyembunyikan kebenaran dan yang semisalnya, sebagaimana terdapat dalam Shahihain Shahih Bukhari dan Shahih Muslim) dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda.
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا رُزِقَا بَرَكَةَ بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
“Penjual dan pembeli itu sebelum keduanya berpisah diperbolehkan untuk memilih (apakah melangsungkan jual belinya atau membatalkannya), apabila keduanya jujur dan menjelaskan (keadaan yang sebenarnya) maka keduanya mendapatkan barakah dalam jual belinya, tetapi apabila keduanya dusta dan menyembunyikan (keadaan yang sebenarnya), maka barakah jual beli keduanya terhapus.”
Kemudian orang yang berbicara dengan ilmu dalam hal tersebut harus mempunyai niat yang baik, maka apabila ia berbicara dengan benar akan tetapi bermaksud berbuat kesombongan di muka bumi atau kerusakan maka kedudukannya seperti orang yang berperang dengan jahiliyah dan berbuat riya. Adapun jika dia berbicara dengan ikhlas karena Allah Ta’ala semata, maka ia termasuk mujahidin di jalan Allah, termasuk pewaris para nabi, penerus para Rasul. Dan hal ini sama sekali tidak menyalahi sabda beliau, “Ghibah itu menyebutkan kejelekan saudaramu yang membuat ia tidak suka (apabila mendengarnya),” karena “Al-Akh” tersebut sebagai mu’min, dan “Al-Akh” yang mu’min apabila ia benar imannya tidak akan benci atas apa yang telah engkau katakan berupa kebenaran, di mana Allah dan RasulNya mencintai kebenaran tersebut, meskipun dalam pelaksanaan kebenaran tersebut merugikan dirinya atau teman-temannya, tetap harus berbuat adil, dan menjadi saksi karena Allah, meskipun terhadap diri sendiri, atau kedua orang tua, atau karib kerabatnya, apabila ia benci kepada kebenaran, maka imannya berkurang, kalau begitu akan berkurang persaudaraan dia sebanding dengan berkurangnya keimanan dia.” (Wallahul Musta’an.)
[Disalin dari buku Fikih Nasehat, Penyusun Fariq Bin Gasim Anuz, Cetakan Pertama, Sya’ban 1420H/November 1999. Penerbit Pustaka Azzam Jakarta. PO BOX 7819 CC JKTM]